Manajemen keuangan keluarga
bagi keluarga muslim sangat penting dalam membantu mewujudkan rumah tangga yang
harmonis dan mampu menjadi pendukung bagi aktivitas keislaman dan keseharian
rumah tangga yang islami. Banyak kita temukan masalah ekonomi atau keuangan
keluarga yang menjadi penyebab ketidakharmonisan dalam rumah tangga dan
akhirnya mengganggu aktivitas seorang muslim dalam melaksanakan tugasnya, baik
sebagai seorang istri, suami,
atau anak untuk beribadah kepada Allah SWT.
atau anak untuk beribadah kepada Allah SWT.
Dalam kaidah fiqh, ekonomi
keluarga mutlak tanggung jawab suami. Jika istri berpenghasilan, hasilnya untuk
diri sendiri dan jika digunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarga, maka
bernilai shodaqoh.
Rumah tangga, yang di dalamnya
ada suami, istri dan anak-anak, merupakan unit keuangan yang terkecil. Pada
umumnya saat awal menikah, sering terjadi kesulitan mengatur keuangan rumah
tangga, yang berakibat terjadi ‘deficit cash flow’ pada akhir bulan, karena
pengelolaan keuangan belum tertata dengan baik, dan belum ada perencanaan
secara komprehensif.
Manajemen keuangan keluarga
yang baik senantiasa menjaga keseimbangan (tawazun) antara besarnya pendapatan
keluarga dengan besarnya pengeluaran. Islam mengajarkan kita untuk senantiasa
bersifat qona’ah ketika pendapatan keluarga tidak begitu besar dan berusaha
untuk mengoptimalkan pos-pos pengeluaran dengan baik, jangan sampai ‘besar
pasak daripada tiang’.
POS KEUANGAN KELUARGA
Pos apa yang pertama kali kita
sisihkan saat pertama kali menerima pendapatan? Banyak ibu rumah tangga dan
para bapak menjawab “belanja rutin”. Menurut perencana keuangan keluarga Achmad
Ghazali, jawaban itu kurang benar. ”Yang benar adalah sisihkan dulu untuk
zakat, infak dan sedekah (ZIS), bayar utang, menabung baru belanja rutin.”
Mengapa demikian, menurutnya
karena belanja adalah pos yang paling fleksibel sehingga besar atau kecilnya
tergantung kebiasaan dan kemauan personal.
ZIS berurusan dengan dunia dan
akhirat kalau tidak ditunaikan akan membawa kesengsaraan dunia dan akhirat.
Begitu pula utang, sehingga jika utang telat dibayar, maka orang yang
bersangkutan harus membayar denda, bunga, dan diteror debt collector dan
apabila meninggal masih meninggalkan utang yang belum terselesaikan maka
menjadi tanggung jawab keluarganya untuk melunasi. Jika tidak dilunasi oleh
keluarganya atau diridhokan oleh pemberi utang akan berakibat kerugian di
akhirat.
"Barangsiapa
hutang kepada orang lain dan berniat akan mengembalikannya, maka Allah akan
luluskan niatnya itu; tetapi barangsiapa mengambilnya dengan Niat akan
membinasakan (tidak membayar), maka Allah akan merusakkan dia." (HR.
Riwayat Bukhari)
Dari Amru bin Syarid,
Rasulullah SAW bersabda :
“Penundaan
Pembayaran Hutang oleh orang yang mampu adalah suatu kedzoliman yang
menghalalkan kehormatan dan penyiksaannya.” (HR. Lima Ahli Hadits,
kecuali Tirmidzi)
Hampir semua manusia mengalami
masa tua/sulit/lemah/sakit, jadual pendidikan anak yang tidak bisa ditunda,
meninggalnya sang pencari nafkah utama dan lain sebagainya maka
Tabungan/Investasi dan Proteksi (Asuransi) sangat diperlukan dan harus
dikeluarkan lebih dahulu sebelum pendapatan digunakan untuk pos belanja rumah
tangga. Gunakan 5 perkara sebelum datangnya 5 perkara.
“Allah
SWT akan memberikan rahmat kepada seseorang yang berusaha dari yang baik,
membelanjakan hartanya secara sederhana dan dapat menyisihkan kelebihannya
untuk menjaga saat miskin dan membutuhkan” (HR. Muslim dan Ahmad)
Oleh karena itu prioritas
alokasi pengeluaran keluarga sesuai syariat Islam terdiri dari minimal 4 Pos,
yaitu:
- Untuk dikeluarkan zakatnya (Minimal 2,5% SEBAIKNYA di atas 5%)
- Pengeluaran kepada pihak ketiga (Hutang) (Maksimal 25%).
- Tabungan/Investasi dan Proteksi (Asuransi) untuk kehidupan masa depan dan masa sulit (Minimal 20%)
- Terakhir untuk alokasi kebutuhan kita sekarang (Maksimal 55%)
Dari ke empat pos tersebut
seringkali terbalik, pos terakhir malah menjadi yang utama dan pos paling utama
justru menjadi yang terakhir. Seperti dalam gambar di bawah ini.
Cash Flow seorang muslim,
digambarkan seperti segentong air yang mana selalu mendapat aliran secara
berkala dalam setiap bulan. Langkah awal yang harus dilakukan bagi seorang
muslim adalah tidak menyediakan sembarang gentong. Gentong yang kita sediakan
adalah gentong yang bermerek Gentong Q ( Qona’ah). Karena sebesar apapun
pendapatan kita, tidak akan bisa cukup kalau kita sendiri tidak merasa cukup
dengan yang kita dapat. Sebelum masuk dalam gentong, air harus melewati Filter
Halalan Thoyyiban.
Setelah air masuk ke dalam
gentong, Kran Air harus ditutup dulu. Kenapa harus ditutup dulu? Karena ”Air”
masih harus membasahi bagian terpenting. Yaitu Hak Allah, (Zakat Infaq dan Shodaqoh).
Baru setelah Hak Allah kita tunaikan, ”Air” kita alirkan ke saluran “Hak pihak
Ketiga”. Apakah hak pihak ketiga itu? Pihak ketiga adalah hutang dan cicilan yang wajib kita tunaikan.
Barulah setelah itu, kita tentukan seberapa banyak ”Air” harus kita sisakan
sebelum dihabiskan. Kita alirkan ”Air” ke saluran “Hak Pribadi Masa Datang”.
Yaitu untuk menabung, investasi, dan proteksi/asuransi (kesehatan, pendidikan
anak, ibadah haji, masa lemah dan tidak produktif, dll).
Setelah melewati saluran-saluran
tersebut, barulah ”Air” bisa kita nikmati untuk mencukupi kebutuhan. Dan ingat!
Kran harus tetap difungsikan. Artinya, kita harus bisa hidup hemat,
menyesuaikan konsumsi kita dengan ”Air” yang tersedia.
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2009/09/27/4019/manajemen-islami-keuangan-dan-harta-keluarga-bagian-ke-2-manajemen-pembelanjaan-dan-pola-konsumsi-islami/#ixzz2UkiG2j6C
Tidak ada komentar:
Posting Komentar