Hal yang
paling dekat dengan kita adalah kematian, benar. Entah itu keluarga, teman,
sahabat, tetangga atau diri kita sendiri pasti akan mengalami mati. Namun, hal
apa saja yang seharusnya kita lakukan dalam menghadapi musibah kematian yang
terjadi di sekitar kita. Semoga ulasan ini bermanfaat.
Adapun
larangan bagi kaum wanita dan juga kaum pria ketika terjadi musibah kematian di
antara mereka ialah:
- Meratapi mayit (niyahah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perempuan yang meratap dan tidak bertaubat sebelum matinya maka pada hari kiamat dia akan dibangkitkan dalam keadaan mengenakan jubah dari ter dan dibungkus baju dari kudis.” (HR. Muslim, Ash Shahihah 734, Al Wajiz, hal. 162).
- Menampar-nampar pipi dan merobek-robek kain pakaian sebagai ekspresi perasaan tidak terima dengan takdir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah termasuk golongan kami orang yang menampar-nampar pipi, merobek-robek kerah baju dan menyeru dengan seruan jahiliah.” (HR. Muttafaq ‘alaih)
- Mencukur rambut karena tertimpa musibah. Sahabat Abu Musa mengatakan, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari orang yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari shaaliqah, haaliqah dan syaaqqah.” (Muttafaq ‘alaih). Shaaliqah adalah perempuan yang menangis dengan keras-keras. Haaliqah adalah perempuan yang mencukur rambutnya ketika tertimpa musibah, sedangkan Syaaqqah adalah wanita yang menyobek-nyobek pakaiannya karena tidak terima dengan ketetapan takdir dari Allah (lihat Al Wajiz, hal. 162, Taisirul ‘Allaam, I/319).
- Mengurai atau mengacak-acak rambut. Hal ini berdasarkan salah satu isi janji setia kaum wanita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu, “(Kami berjanji) untuk tidak mengacak-acak rambut (ketika tertimpa musibah).” (HR. Abu Dawud, Al Jana’iz, hal. 30, shahih, lihat Al Wajiz hal. 162).
Sedangkan
amalan yang sangat dianjurkan adalah menyolati jenazah dan mengikuti iringan
jenazahnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa
yang menyolati jenazah dan tidak ikut mengiringi jenazahnya maka dia mendapat
pahala satu qirath. Dan apabila dia juga mengiringinya maka dia mendapat pahala
dua qirath” Ditanyakan kepada beliau, “Apa maksud dari dua qirath?” Beliau
menjawab, “Yang terkecil dari keduanya (satu qirath) ialah serupa dengan
besarnya Gunung Uhud.” (HR. Muslim). Akan tetapi keutamaan mengikuti iringan
jenazah ini hanya berlaku bagi kaum lelaki, bukan bagi kaum perempuan. Ummu
‘Athiyah radhiallahu ‘anha mengatakan, “Kami (kaum wanita) dilarang untuk
mengikuti iringan jenazah namun beliau tidak keras dalam melarangnya.”
(Muttafaq ‘alaih)
Dan
termasuk amalan yang disyariatkan ialah melakukan ta’ziyah. Ta’ziyah ialah
menyuruh keluarga yang ditinggal mati untuk bersabar, membuat mereka terhibur
dan tabah sehingga akan meringankan penderitaan yang mereka rasakan dan
mengurangi kesedihan hati mereka. Ini bisa dilakukan oleh kaum laki-laki maupun
wanita. Nabi bersabda, “Tidaklah seorang mukmin menta’ziyahi saudaranya karena
musibah yang menimpanya melainkan Allah ‘azza wa jalla memberinya pakaian
kemuliaan pada hari kiamat.” (HR. Ibnu Majah dengan sanad jayyid, Ensiklopedi
Muslim, hal. 391). Hal itu bisa dilakukan dengan menyampaikan nasihat dan
ucapan yang baik kepada keluarganya, semacam mengatakan, “Sesungguhnya hak
Allah untuk mengambil sesuatu yang menjadi milik-Nya. Dan Dia lah yang berhak
menarik apa yang sudah diberikan. Dan segala sesuatu sudah ditetapkan ajalnya
maka sabar dan harapkanlah pahala.” (lihat Ensiklopedi Muslim, hal. 391, Al
Wajiz, hal. 181, Ukhti juga bisa mendapatkan bimbingan audio visual
penyelenggaraan Jenazah di dalam VCD Tata Cara Penyelenggaraan Jenazah yang
diterbitkan oleh saudara-saudara kami yang tergabung dalam Al Markaz
production, semoga Allah mengganjar mereka dengan pahala sebesar-besarnya).
Ketika
melakukan ta’ziyah seyogyanya dijauhi dua perkara yaitu : Pertama, sengaja berkumpul-kumpul di tempat kematian; seperti di
rumahnya, pekuburan atau di masjid. Kedua,
keluarga mayit membuatkan makanan bagi para pelayat.
Kedua
hal ini terlarang berdasarkan ijma’ (konsensus) para Sahabat. Jarir bin
Abdullah Al Bajali radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Kami (para sahabat)
mengategorikan perbuatan berkumpul-kumpul di tempat keluarga mayit serta
membuat jamuan makan (untuk pelayat) sesudah penguburannya adalah termasuk
niyahah (meratapi mayit).” (HR. Ibnu Majah, Shahih Ibnu Majah 1308) dan
meratapi mayit adalah haram.
Adapun
amalan yang dituntunkan ialah kerabat atau tetangga-tetangganyalah yang
membuatkan makanan untuk keluarga si mayit. Karena ketika diumumkan kematian
Ja’far yang terbunuh dalam perang, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far karena sesungguhnya
mereka telah tertimpa urusan yang menyibukkan mereka.” (HR. Abu Dawud, dll).
Sunnah inilah yang dipegang oleh Imam Syafi’i rahimahullah (lihat Al Munakhkhalah,
hal. 66). Imam Asy Syafi’i sendiri tidak menyukai adanya berkumpul di rumah
ahli mayit ini, seperti yang beliau kemukakan dalam kitab Al Umm, sebagai
berikut, “Aku tidak menyukai ma’tam, yaitu berkumpul (di rumah keluarga mayit),
meskipun di situ tidak ada tangisan, karena hal itu malah akan menimbulkan
kesedihan baru.” (Asy Syafi’i, Al Umm, juz 1, hal. 248, dicuplik dari Tahlilan
dan Selamatan Menurut Mazhab Syafi’i, hal. 18). Lalu apa yang harus dilakukan?
Imam Syafi’i mengatakan, “Dan aku menyukai, bagi jiran (tetangga) mayit atau
sanak kerabatnya, membuatkan makanan untuk keluarga mayit, pada hari datangnya
musibah itu dan malamnya, yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka, dan amalan
yang demikian itu adalah sunnah (tuntunan Nabi).” (Asy Syafi’i, Al Umm, juz 1,
hal. 247, dicuplik dari Tahlilan dan Selamatan Menurut Madzhab Syafi’i, hal.
27).
Sumber : http://www.konsultasisyariah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar